kelas : 2PA13
NPM : 16514093
Analisis
kasus : Phobia Kecoa
Anak
saya Kinanty, 9 tahun, sangat takut dengan kecoa, kalau Ia sedang ke dapur dan
melihat kecoa ia langsung ngibrit lari dan memanggil mbaaaaaahhhh…ada
kecoaaaaaa. Begitupun bila Ia mendapati kecoa di kamar mandi Ia langsung lari.
Pengalaman itu membuat Ia takut bila ingin mengambil piring ke dapur atau ke
kamar mandi.
Saya
coba lakukan tapping pada anak saya terhadap rasa takut pada kecoa. Saya
memintanya untuk mengikuti setup word yang saya ucapkan dan memintanya membayangkan
kecoa ketika saya tapping. Satu putaran tidak membuat hilang takutnya pada
kecoa. Saya ketahui ini ketika saya memintanya untuk membayangkan kecoa dan Ia
mengatakan masih takut. Lalu saya coba gali lebih spesifik dengan menanyakan
pengalaman dengan kecoa yang pernah Ia alami. Anak saya mengatakan takut bila
melihat kecoa terbang. Lalu saya lakukan tapping dengan aspek tersebut. Setelah
itu saya meminta Ia membayangkan kembali kecoa yang terbang tapi ia mengatakan
masih takut. Saya tanyakan kembali hal apa yang diingat ketika ia takut melihat
kecoa, Anak saya mengatakan ia takut dengan sayap kecoa ketika terbang. Lalu
saya tapping dengan aspek tersebut. Setelah tapping dengan versi sortcut saya
meminta anak saya membanyangkan kembali. Tapi ia masih merasa takut. Kemudian
saya mencoba gali kembali pengalaman yang lalu. Kali ini anak saya mengatakan
dulu sewaktu ia mencuci piring pernah dihinggapi oleh kecoa. Lalu saya kembali
melakukan tapping dengan aspek ini. Setelah saya meminta membayangkan peristiwa
itu kembali ia mengatakan kini ia tidak takut lagi pada kecoa. Saya mendapati
bukti bahwa anak saya sudah hilang takut pada kecoanya dari laporan ibu saya
yang mengatakan bahwa anak saya sudah tidak lari ataupun bereakti ketika ada
kecoa di dapur dan kamar mandi.
Teori
pskologi tentang phobia
Teori Psikoanalisis. Menurut
Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh
impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang
ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi
simbolik dengannya. Fobia adalah cara ego untuk menghindari konfrontasi dengan
masalah sebenarnya, yaitu konfik masa kecil yang ditekan.
Teori Behavioral. Teori
behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia.
Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan.
Avoidance Conditioning.
Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan
respons avoidance yang dipelajari. Dalam sejarah, demonstrasi Watson dan Rayner
(1920) mengenai pengondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia yang terlihat
jelas pada Little Albert dianggap sebagai model mengenai bagaimana fobia dapat
terjadi. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua
faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang
dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1. Melalui classical
conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus
netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan keadian yang secara
intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS)
2. Seseorang dapat belajar
mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari
atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan
sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi
mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Mungkin ketiadaan suatu UCS bukan
merupakan hal penting karena kunci atas ketakutan yang dikondisikan adalah UCR
(Forsyth & Eilert, 1998). Yaitu, seseorang yang mengalami episode
ketegangan fisiologis yang mendalam (UCR), karena beberapa alasan yang tidak
disadarinya, dapat secara salah menyimpulkan bahwa situasi yang tidak berbahaya
telah menyebabkan ketegangan dan ketakutan tersebut sehingga dapat menimbulkan
fobia. Namun, jika situasi yang dihadapi seseorang tidak bersifat traumatis,
tidak terdapat UCS yang jelas.
Kemungkinan solusi lain untuk
memecahkan teka-teki fobia yang terjadi tanpa keterpaparan dengan UCS yang
menakutkan adalah melalui modeling.
Teori Kognitif. Sudut pandang
kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada
bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada
bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan
kemungkinan yang lebih hesar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi
informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai
bahwa kejadian negatf memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa
mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk.,2001). lsu utama dalam
teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah
kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental
mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan
di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah
bias kognitif menjadi penyebab gangguan
anxietas.
Faktor-faktor Biologis yang
Memengaruhi. Berbagai Teori yang telah kita bahas terutama melihat pada
lingkungan untuk menemukan penyebab dan yang membuat fobia menetap. Namun,
mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistik, sedangkan yang
lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin
mereka yang secara negatif sangat terpengaruh oleh stres memiliki malfungsi
biologis (suatu diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu terjadinya
fobia setelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area berikut
tampaknya menjanjikan: sistem saraf otonom dan faktor genetik.
Sistem Saraf Otonom. Seperti
disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia sosial sering kali
merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan
di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem
saraf otonom, aktivitas sistem saraf otonom yang berlebihan kemungkinan
merupakan suatu diathesis. Namun demikian, sebagian besar bukti tidak
menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam
pengendalian berbagai bentuk aktivitas otonomik, walaupun saat berada dalam
situasi seperti berbicara di depan umum yang diharapkan akan terjadi perbedaan.
Mungkin ketakutan terhadap memerahnya wajah atau berkeringat sama pentingnya
dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat.
Faktor Genetik. Beberapa studi
telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan
penyuntikan sangat familial; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan
memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita
gangguan yang sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam populasi umum hanya 3
sampai 4 persen (Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun
fobla spesifik, prevalensinya lebih tinggi dibanding rata-rata pada keluarga
tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang kembar menunjukkan kesesuaian
yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ (Hettema M. Neale, Gt
Kcndler, 2001).
Sumber : Psikologi Abnormal Edisi ke-9 : Gerald C Davidson, John M. Neale, Ann M Kring : 2006
Sumber : Psikologi Abnormal Edisi ke-9 : Gerald C Davidson, John M. Neale, Ann M Kring : 2006
·
Pemahaman tentang kesehatan
mental
Kesehatan mental adalah suatu
mental yang sedang sakit atau gangguan mental pada seseorang yang mengalami
kelainan/sakit bukan pada fisik melainkan jiwa nya. Penderita kesehatan mental
biasanya ada kesalahan di bagian otak, sehingga penanganan penyakit mental
mirip dengan sakit fisik yaitu melalui medikasi.
Biasanya orang yang mengalami
gangguan pada jiwanya, tidak memiliki kesadaran akan hal-hal yang dilakukan.
Jika menurut masyarakat Indonesia dan india mengganggap orang yang memiliki
gangguan jiwa tidak sakit melainkan seperti di rasuki oleh roh.. mungkin
sebagian besar orang basar berfikir seperti itu karna persepsi yang secara
logika bisa di tangkap atau pahami oleh masyarakat luas.
Mental bisa terganggu karena ada
tekanan masa lalu yang buruk atau menyakitkan yang membuat si penderita ini
merasa ketakutan, merasa bersalah dan traumatic.