Tuesday, June 21, 2016

Analisis kasus Phobia kecoa

Nama : Lingga sari putri
kelas : 2PA13
NPM : 16514093

Analisis kasus : Phobia Kecoa

Anak saya Kinanty, 9 tahun, sangat takut dengan kecoa, kalau Ia sedang ke dapur dan melihat kecoa ia langsung ngibrit lari dan memanggil mbaaaaaahhhh…ada kecoaaaaaa. Begitupun bila Ia mendapati kecoa di kamar mandi Ia langsung lari. Pengalaman itu membuat Ia takut bila ingin mengambil piring ke dapur atau ke kamar mandi.

Saya coba lakukan tapping pada anak saya terhadap rasa takut pada kecoa. Saya memintanya untuk mengikuti setup word yang saya ucapkan dan memintanya membayangkan kecoa ketika saya tapping. Satu putaran tidak membuat hilang takutnya pada kecoa. Saya ketahui ini ketika saya memintanya untuk membayangkan kecoa dan Ia mengatakan masih takut. Lalu saya coba gali lebih spesifik dengan menanyakan pengalaman dengan kecoa yang pernah Ia alami. Anak saya mengatakan takut bila melihat kecoa terbang. Lalu saya lakukan tapping dengan aspek tersebut. Setelah itu saya meminta Ia membayangkan kembali kecoa yang terbang tapi ia mengatakan masih takut. Saya tanyakan kembali hal apa yang diingat ketika ia takut melihat kecoa, Anak saya mengatakan ia takut dengan sayap kecoa ketika terbang. Lalu saya tapping dengan aspek tersebut. Setelah tapping dengan versi sortcut saya meminta anak saya membanyangkan kembali. Tapi ia masih merasa takut. Kemudian saya mencoba gali kembali pengalaman yang lalu. Kali ini anak saya mengatakan dulu sewaktu ia mencuci piring pernah dihinggapi oleh kecoa. Lalu saya kembali melakukan tapping dengan aspek ini. Setelah saya meminta membayangkan peristiwa itu kembali ia mengatakan kini ia tidak takut lagi pada kecoa. Saya mendapati bukti bahwa anak saya sudah hilang takut pada kecoanya dari laporan ibu saya yang mengatakan bahwa anak saya sudah tidak lari ataupun bereakti ketika ada kecoa di dapur dan kamar mandi.

Teori pskologi tentang phobia
Teori Psikoanalisis. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Fobia adalah cara ego untuk menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konfik masa kecil yang ditekan.
Teori Behavioral. Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan.
Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari. Dalam sejarah, demonstrasi Watson dan Rayner (1920) mengenai pengondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia yang terlihat jelas pada Little Albert dianggap sebagai model mengenai bagaimana fobia dapat terjadi. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1. Melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan keadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS)
2. Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Mungkin ketiadaan suatu UCS bukan merupakan hal penting karena kunci atas ketakutan yang dikondisikan adalah UCR (Forsyth & Eilert, 1998). Yaitu, seseorang yang mengalami episode ketegangan fisiologis yang mendalam (UCR), karena beberapa alasan yang tidak disadarinya, dapat secara salah menyimpulkan bahwa situasi yang tidak berbahaya telah menyebabkan ketegangan dan ketakutan tersebut sehingga dapat menimbulkan fobia. Namun, jika situasi yang dihadapi seseorang tidak bersifat traumatis, tidak terdapat UCS yang jelas.
Kemungkinan solusi lain untuk memecahkan teka-teki fobia yang terjadi tanpa keterpaparan dengan UCS yang menakutkan adalah melalui modeling. 
Teori Kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih hesar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatf memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk.,2001). lsu utama dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.               
Faktor-faktor Biologis yang Memengaruhi. Berbagai Teori yang telah kita bahas terutama melihat pada lingkungan untuk menemukan penyebab dan yang membuat fobia menetap. Namun, mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistik, sedangkan yang lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin mereka yang secara negatif sangat terpengaruh oleh stres memiliki malfungsi biologis (suatu diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu terjadinya fobia setelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area berikut tampaknya menjanjikan: sistem saraf otonom dan faktor genetik.
Sistem Saraf Otonom. Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia sosial sering kali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas sistem saraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis. Namun demikian, sebagian besar bukti tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam pengendalian berbagai bentuk aktivitas otonomik, walaupun saat berada dalam situasi seperti berbicara di depan umum yang diharapkan akan terjadi perbedaan. Mungkin ketakutan terhadap memerahnya wajah atau berkeringat sama pentingnya dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat. 
Faktor Genetik. Beberapa studi telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan penyuntikan sangat familial; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita gangguan yang sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam populasi umum hanya 3 sampai 4 persen (Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun fobla spesifik, prevalensinya lebih tinggi dibanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang kembar menunjukkan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ (Hettema M. Neale, Gt Kcndler, 2001).

Sumber : Psikologi Abnormal Edisi ke-9 : Gerald C Davidson, John M. Neale, Ann M Kring : 2006

·         Pemahaman tentang kesehatan mental
Kesehatan mental adalah suatu mental yang sedang sakit atau gangguan mental pada seseorang yang mengalami kelainan/sakit bukan pada fisik melainkan jiwa nya. Penderita kesehatan mental biasanya ada kesalahan di bagian otak, sehingga penanganan penyakit mental mirip dengan sakit fisik yaitu melalui medikasi.
Biasanya orang yang mengalami gangguan pada jiwanya, tidak memiliki kesadaran akan hal-hal yang dilakukan. Jika menurut masyarakat Indonesia dan india mengganggap orang yang memiliki gangguan jiwa tidak sakit melainkan seperti di rasuki oleh roh.. mungkin sebagian besar orang basar berfikir seperti itu karna persepsi yang secara logika bisa di tangkap atau pahami oleh masyarakat luas.

Mental bisa terganggu karena ada tekanan masa lalu yang buruk atau menyakitkan yang membuat si penderita ini merasa ketakutan, merasa bersalah dan traumatic.